Rabu, 10 Februari 2010
Padamkah Lampumu Semalam?
Setengah jam sebelum pukul 20.30, saya dan Nando (adek saya) mulai makan malam. Kebetulan kami hanya berdua di rumah. Ibu saya, setelah tahu kami akan mematikan listrik selama sejam nanti, minta izin main keluar. Setelah makan malam selesai, kami berdua duduk di ruang teve, menghadap kotak listrik hitam yang sudah padam itu. Nando mengambil bantal meditasinya. Saya mengambil posisi di sofa. Pukul 20.30 tepat. Ibu saya keluar rumah seraya mematikan sakelar utama di luar. Ruangan gelap total. Tak ada lilin. Tak ada bunyi getar kulkas atau dispenser. Kami mengandalkan sisa terang dari jalanan dan embusan angin dari dua daun jendela yang terbuka. Empat puluh menit dari sejam yang digaungkan dan didengungkan seluruh dunia sebagai Earth Hour, kami duduk dalam kesunyian. Kegelapan. Sesekali terdengar suara-suara dari luar: tetangga yang mengobrol dengan tetangga lain dan membicarakan bahwa banyak rumah di kampung yang memadamkan listrik malam itu, anak tetangga mengobrol dengan ibunya sambil membunuh waktu sejam tak berlampu, bola basket beradu dengan aspal, suara kaki berlari-lari. Cukup banyak kegiatan di luar sana, yang hanya bisa kami nikmati dan amati lewat meditasi.
Sejak beberapa hari yang lalu, beberapa teman sudah mengumumkan partisipasi mereka di Earth Hour lewat status Twitter atau Facebook atau e-mail. National Geographic bahkan berkomitmen untuk mematikan siarannya selama sejam. Earth Hour dibahas di teve, di radio, di majalah, di internet. Iklan “Vote for Earth” berkumandang di setiap jeda iklan teve Star World. Luar biasa, pikir saya. Sebegitu terhubungnya dunia hingga gerakan sederhana seperti mematikan lampu ternyata bisa dimobilisasi di satu muka Bumi ini. Bukan lagi utopi, melainkan sungguhan terjadi. Selama sejam kita ditantang untuk mengorbankan ketergantungan kita terhadap listrik dan memberi sehela napas pada Bumi. Entah berapa orang yang berpartisipasi, dan apakah bisa dihitung pasti? Namun, dengan melihat beberapa tetangga saya ikut berpartisipasi, saya tersenyum dalam hati. Ternyata masih ada yang peduli. Ternyata harapan itu tak terlalu tinggi.
Dua puluh menit tersisa. Kami berdua hanya ngobrol ngalor-ngidul, membicarakan hal-hal kecil sambil berbaring meregangkan tubuh. Meresapi sisa kegelapan dan malam yang berangsur sejuk. Sambil bangkit berdiri, Nando berkata bahwa ia tidak keberatan jika harus mengulang ritual sejam tanpa listrik ini dalam skala bulanan atau dua mingguan. Saya pun berpikir hal yang sama. Berapa jam lagi yang sudi kita persembahkan? Selagi kita masih bisa menyerahkannya sebagai persembahan, bukan karena keterpaksaan, atau karena keadaan.
Sakelar kembali dinyalakan. Listrik kembali mengaliri rumah kami; menghidupkan kembali lampu, AC, kulkas, dispenser, dll. Semua kenyamanan ini… kemudahan ini… telah diberikan alam pada kita semua selama bergenerasi-generasi. Cuma-cuma. Jika sejam berpuasa dari itu semua dapat menolong alam untuk bertahan, tidakkah itu menjadi hadiah yang mudah, murah, sekaligus tak ternilai harganya?
Langganan:
Postingan (Atom)